Tak hanya itu, berbagai metode ditawarkan. Kita mengenal
istilah-istilah semacam CBSA (cara belajar siswa aktif),quantum
learning, ada juga CTL (contextual teaching and learning), Pingu, dan lain sebagainya. Dan
semua bertujuan umum satu, bagaimana membuat murid itu paham dengan apa yang
diajarkan, dan bisa melakukan praktek dan mengamalkan apa yang diajarkan, tidak
sekedar tahu teori saja. Dalam istilah pesantrennya, al-ilmu bil amal, ilmu dengan amal. Hanya saja, sebagian besar metode-metode itu, kita serap
dan kita adaptasi dari dunia pendidikan barat, dunia yang kita tahu bahwa
mereka lebih maju dalam segalanya daripada kita. Bagus memang, sebab masih
termasuk juga dalam bab al-hikmah
dhoollatul mu’min. Ilmu pengetahuan orang mu’min yang hilang. Sebuah
kata bijak mengatakan, khudzil
hikmata min ayyi wi`a-in khorojat, ambillah kebijakan, ambillah
ilmu dan pengetahuan dari mana saja sumbernya, meski dari barat sekalipun. Namun
kita juga harus ingat, sebagai seorang muslim yang baik, kita tetap harus
bangga dengan “produk” sendiri. Sebab sebenarnya sejak 1400 tahun lalu, Nabi
kita, Nabi Muhammad S.a.w pun ternyata telah mengembangkan dan menawarkan
metode pengajaran yang memiliki karakter tersendiri. Dan jika kita mau teliti,
dan menarik urutan benang merah lebih ke belakang lagi, berbagai metode yang
dikembangkan oleh barat dalam dunia pendidikan mereka (yang lantas kita ambil
itu), ternyata mengambil dan mengadopsi metode pengajaran yang telah lama
ditawarkan Nabi Muhammad S.a.w. Ironisnya, kita sendiri tidak banyak yang
mengetahui hal ini. Karena data sejarah mengatakan, Umat Islam telah jauh
berkembang terlebih dahulu, saat bangsa-bangsa Eropa masih dalam kegelapan, dan
itu pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan yang mereka dapat, adalah semua
dari universitas-universitas Islam yang berdiri di semenenjung Iberia,
Andalusia (Spanyol dan Portugal sekarang). Belum perguruan-perguruan tinggi
yang tersebar hampir di semua wilayah Islam yang sampai sekarang sebagian masih
eksis dengan karakteristik dan metode pendidikan yang menyendiri, semisal
Al-Azhar (di Mesir), dan Qoiruwan (di Maroko). Walau sekarang kenyataan yang
ada, kita umat Islam tertinggal jauh dari mereka . Nabi tidak sekedar duduk
membacakan ayat dan para sahabat mengelilinginya sambil mendengarkan saja.
Sebuah imajinasi dan persepsi yang keliru jika kita mengilustrasikan bahwa Nabi
dalam mengajar dan menyampaikan wahyu ilahi hanya seperti itu saja caranya.
Tentu tidak logis juga jika cara yang monoton dan pasif seperti itu bisa
menghasilkan kader-kader penakluk dunia yang nama mereka tercatat dan terekam
abadi dalam tinta emas sejarah, bahkan mampu menghilangkan dua negara super power dari peta dunia pada masa itu, Dinasti
Sasanid di Teisphon, Persia (Republik Islam Iran sekarang) dan Imperium Romawi
Byzantium di Konstantinopel (Turki sekarang). Jika tidak karena Nabi memiliki
sistem dan metode pendidikan yang istimewa dan punya kekuatan karakter
tersendiri. Semisal
pemutaran video, penggunaan proyektor, pemanfaatan internet, dsb. Tidak hanya
sekolah dan tempat pendidikan berbasis umum yang menggunakan ini, bahkan dunia
pesantren pun telah menggunakannya, walau mereka juga tetap mempertahankan
system lama yang jadi cirri khas mereka, yaitu sorogan dan bandongan (al-muhafadzoh
alal qodim-is sholih, wa-l akhdzu bi-l jadid al-aslah). Dan ini
sebab kesalahan umat islam sendiri, untuk lebih lengkap, bisa anda baca buku sirru ta-akkhuril-muslimin (rahasia kemunduran umat islam) karya
Aly Thontowi, juga buku madzakhosirol
alam bi-n khithotil muslimin (kerugian
yang dialami dunia sebab kemunduran umat Islam) karya Aly Hasani Annadwi. Dan
inti dari kemunduran itu adalah al-wahn dan ketakutan akan kematian.
Disadur dari Andrea Hirata Oleh Logita Anugraha
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !